Hidup Dalam Pangkuan Perempuan STW
Ayah ibuku adalah orang susah. Hidup sebagai petani, bukan masalah mudah. Kemiskinan terus mendera keluarga kami. Aku anak tertua dari tiga bersaudara. Setemat SD, usiaku 13 tahun, karena anaku terlambat masuk ksekolah, aku diminta oleh sebuah keluarga, untuk disekolahkan di tempatnya. Keluarga itu berharap aku bisa membantunya di rumahnya sepulang sekolah. Dengan berat hati orangtyuaku mengizinkannya, namun aku sangat gembira, bisa melanjutkan sekolah.
Tanpa bekal apa-apa keciali ijazah SD, aku dibawa Bu Lastri dan suaminya ke kota tempat mereka tinggal. Pagi-pagi sekali aku harus sudah bangun dan mempersiapkan segalanya, mulai dari menjerang air sampai membuat minum,. kemudian mengel rumah, menyiram bunga-bunga di taman depan rumah, baru aku mandi, sarapan kemudian naik sepeda ke sekolah. Bu Lastri dan suaminya serta dua anaknya, ikut naik mobil untuk diantar ke sekolah. Aku iri pada mereka dan aku bertekad, satu sat aku harus kaya agar aku bisa menyenang ayah dan ibuku serta adik-adikku naik mobil.
Aku mengerjakan pekerjaanku dengan baik tanpa memikirkan apa-apa. Yang panting aku dapat tempat tinggal, pakaian, buku2 sekolah, makan dan terpenting aku tidak terlantasr. Aku biasanya belajar mulai pukul 20.00 setelah aku menyelesaikanpekerjaanku bersama si Bibi, pembantu yang tinggal dan untuk sementara sekamar denganku.
Setiap kali aku belajar pembantu yang ku panggil Bibi itu, selalu menemaniku, karena dia tak punya anak walau pernah menikah selama 10 tahun. Dia dicerai oleh suaminya, karena tak bisamelahirkan anak. Bibi sangat sayang padaku. Dia selalu menyiapkan makanan ringan untukku saat aku belajar, bahkan membuat teh manis panas, sesekali dia relamencuri susu dan dibuatkan untukku. Bibi suka menciumku dengan kasih sayangnya.
Malam itu udara sangat gerah. Bibi yangberusia 29 tahun itu,
membuka pakaiannya, kecuali sarung yang menutupi tubuhnya dan telanja dada
dibaluk Bra pada bagian tertentu tubuhnya. Dia duduk disampingku, memperhatikan
aku belajar. Kulir sawo matang yang dipertontonkan kepadaku serta buah dadanya
yang besar, sampai-sampai bra yang dipakainya tak mampu menampungnya. Aku jadi
horny dibuatnya. Dia tersenyum saat aku menatap buah dadanya yang besar itu.
Tapi aku tahu, dia bangga pada buah dadanya yang besar itu.
“Kamu belum pernah lihat buah dada seperti ini Ton?” dia bertanya. Aku
menggeleng.
“Apa di dalam ada air suysunya, Bi?” tanyaku polos ketika itu.
“Belum ada.”
“Begitu besar kok tidak ada. Tetanggaku, walau tak sebesar itu ada airnya. Aku
lihat dia menyusui anaknya,” kataku.
“Oh.. itu kalau suadh melahirkan dia akan ada. Tapi kalau tidak hamil dan tidak
melahirkan anak, air susunya tidak ada,” kata Bibi menjelaskan.
Dengan kepolosanku ketika itu, aku menjamah tetek Bibi pada belahannya. Bibi
tersenyum. Lalu Bibi melepas pengait Branya, lalu tersembullah teteknya yang
besar itu.
“Nah… peganglah,” katanya tersenyum. Aku memegangnya dan mengelus-elusnya.
“Kalau kamu mau coba mengisapnya juga boleh kok, Ton,” Bibir seperti mengerti
keinginanku. Dia lalu menyodorkan buah dadanya ke mulutku dan aku mengemut
pentilna yang hitam dan mulai mengisap-isapnya. Bibi mendesis dan mengelus
kepalaku..
“Kenapa Bi? Sakit ya?” tanyaku ketakutan.
“Tidak, nak Tono. Tidak Malam bibir merasa enak. Tapi ingat, kamu tak boleh
ceriota kepada siapapun juga,” katanya. Aku mengangguk. Bibi menyodorkan kembali
teteknya ke mulutku dan mengisapnya. Aku suka mengisap teteknya. Diarahkannya
sebelah tanganku untuk mengelus dan meremas buah dadanya yang lain. Aku
melakukannya dan Bibi mendesis-desis yang katanya enak. Aku diminta bergangtian
mengisap Teteknya, kiri dan kanan. Aku pun menjadi semakin suka. Kontolku
mengeras dan menegang.
Bibi menaikan tubuhku ke gendi\ongannya. Kedau kakiku mengangkangi keduakakinya dan terus diminta mengisap pentil teteknya dan kepalaku terus menerus dielusnya. Dia selalu mendesis yang menagatakan sayang padaku. Bajuku pun dibukanya, sampai aku juga seperti Bibi tanpa baju.
Bibi menurunkan diriku dari pangkuannya dan mematikan lampu,
kemudian menghidupkan lampu 5 watt warna biru, lalu dibawanya aku tidur di
tempat tidurnya. Di kamar itu ada dua buah tempat tidur. Kami masing-masing
satu tempat tidur. Kali ini, aku diajaknya tidur seranjang denganya. Sembari
tidur, dia terus memintaku untuk mengisap teteknya. Bibi melepaskan kain
sarungnya dan kini dia sudah telanjang bulat. Dia arahkannya tanganku untuka
mengelus-elus rambut yang tumbuh pada memeknya. Aku merasakan jemariku yang
diarahkannya menyentuh lendir hangat di sela-sela memeknya.
“Terus sayang. Terus masukkan jarimu ke dalam,” katanya. Aku melakukannya.
Pagi-pagi sekali Bibi suadh terbangun dan sudah mengerjakan
pekerjaan. Akumendengar, ibu rumah menanyakan kepada Bibi kenapa aku belum
bangun aku terkejut dan melompat dari tempat tidur.
“Tono kelihatannya demam Nyonya. Aku mau mengompresnya dan memberinya obat.
Biar saya mengerjakan pekerjaannya,” kata Bibi. Mendengar itu aku kembali ke
tempat tidurku dan menyelimuti diriku. Begiti selesai menyelimuti diriku, pintu
kamar terbuka dan ibu rumah masuk lalu mendekatiku.
Kamu tak usah sekolah. Nanti Bibi akan membelikan obat untukmu. Istirahat, biar saya nanti yang permisikan kepada gurumu,” kata ibu rumah kepadaku.
AKu hanya mengangguk saja dan mataku tetap terpejam. Aku mendengar
pintu tertutup dan ibu berbicara kepada Bibi.
“Ni uang. Nanti belukan Panadol atau apa saja obat demam. Tanyakan apotik apa
yang harus diberikan kepadanya,” kata ibu memberikan uang kepad Bibi. Bibi
menyanggupinya dan setengah jam kemudian, rumah jadi sepi dan aku mendengar
suara mobil keluar dari garasi.
Setelah menutup gerbang, Bibi berlari ke kamar dan tersenyum aku
punnterbangun.
“Ayo kita mandi,” kata Bibi, menyeretku ke kamar mandi. Kami sama-sama masuk.
Kukira, aku akan dimandikan oleh bibi atau apa, ternyata Bibi menelanjangi
dirinya dan menelanjangi diriku dan kami mandi berdua. Usai mandi kami sarpan
di meja dapur, memang itu adalah bagian kami..
“Ayo kita tiduran lagi yuk,” Bibi mengajakku kembali ke kamar.
Aku menuruti saja. Sesampainya di kamar, Bibi kembali menelanjangi dirinya dan diriku. Kembali aku diminta mengisap pentil teteknya. Bibi mengajariku berciuman bibir. Mulanya aku enggan. Tapi aku harus selamat. Di rumah ini, hanya Bibi yang memperhatikanku dan hanya dia temanku. Dia yang suka membuat makanan untukku, bahkan selalu menyimpan makanan untuk dan disimpan di kolong ranjang.
Aku menikmati juga ciuan bibir. Aku menikmati juga mengisap bibirnya dan mengisap lidahnya, seperti apa yang dia perlakukan untukku. Mulai dari sana, kami selalu melakukan apa saja, begitu aku usai belajar atau mengerjakan PR pada malam hari. Bagaimana aku menjilati memeknya, bagaimana aku menjilati lehernya, bagaimana aku memasukkan kontolku ke lubang memeknya. Ada hari-hari tertentu, aku harus memasukkan kontolku ke mulutnya saja.
Setahun lebh aku diajarinya, sampai aku benar-benar mampu melakukannya dengan sempurna dan tubuhku yang memang tinggi, karean kerja keras, aku jadi laki-laki berotot. Pemilik rumah yang mengasuhku pun senang, karena aku naik kelas dua, dengan nilai yang sangat bagus.
TAMAT